Pernikahan, Pemerintah, dan Masyarakat

Jason Matthew Limantoro
4 min readAug 23, 2024

--

Refleksi teologis terhadap hubungan pemerintah-masyarakat

Allah menetapkan pernikahan sebagai sebuah dasar bagi hubungan keluarga dan lembaga masyarakat lainnya. Seringkali pernikahan dipahami sebagai hal yang bersifat privat, hal yang terlepas dari urusan publik dan masyarakat. Sebaliknya, pernikahan yang menjadi fondasi segala lembaga masyarakat butuh perhatian khusus akan implikasinya. Oleh karena itu, tulisan ini merefleksikan penafsiran teologis Kristen pribadi penulis akan pernikahan dan hubungannya dengan pemerintah dan masyarakat.

Pernikahan merupakan sebuah karunia Allah untuk manusia dalam bentuk hubungan eksklusif antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang saling mengasihi dan dikasihi. Pada awal mulanya, Allah menciptakan manusia pertama, Adam, untuk menguasai dan mengupayakan ciptaan-Nya. Hawa yang menjadi perempuan pertama, diciptakan dari tulang rusuk Adam, diperuntukkan untuk membantu Adam dalam tugasnya menguasai dan mengupayakan bumi. Dalam hal ini, pernikahan secara relasi keluarga terlihat, bahwa Allah melihat pernikahan sebagai hal yang baik. Adam memiliki tanggung jawab yang besar atas ciptaan Allah (termasuk Hawa), Hawa diciptakan untuk menolong Adam (keduanya diciptakan setara dengan peran yang berbeda), dan adanya persatuan Adam dengan Hawa (karena Hawa berasal dari Adam).

Pernikahan yang dikehendaki olah Allah sulit terlihat di dalam dunia saat ini. Dosa mengotori pernikahan yang sejati. Dosa menghancurkan hubungan pernikahan dengan perpecahan antara suami dan istri. Hubungan suami dan istri tidak lagi didasari oleh kasih dengan timbulnya buah-buah dosa di dalam pernikahan, seperti pertengkaran, kekerasan, perceraian, dan perzinahan. Dalam hal ini, dampak dari pernikahan sebagai fondasi masyarakat yang rusak akibat dosa menjalar ke dalam hubungan-hubungan masyarakat yang lainnya.

Yesus Kristus menghidupkan kembali pernikahan yang sejati di dalam karya pengurbanan-Nya. Yesus Kristus yang tidak berdosa di dalam keseluruhan hidup-Nya menjadi contoh nyata bahwa Yesus Kristus menggenapkan apa yang Adam gagal lakukan di taman Eden. Kesempurnaan Yesus Kristus menunjukkan pernikahan yang sejatinya di dalam karya keselamatan dan Injil yang Ia wartakan. Suami dan istri “menjadi satu daging”. Terjadi persatuan yang sejati antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di dalam pernikahan. Oleh karena itu, pernikahan tidak diperkenankan Allah untuk diceraikan karena Allah yang menyatukan (Mat. 19:4–6).

Rasul Paulus di dalam suratnya kepada jemaat di Efesus mengingatkan bahwa para suami untuk mengasihi istrinya seperti Kristus mengasihi jemaat dan rela mengurbankan diri-Nya untuk jemaat. Suami juga diingatkan untuk mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri. Bukan hanya suami, istri hendaknya tunduk kepada suaminya dan menghormatinya (Ef. 5:22–23). Inilah hal yang Allah mandatkan kepada manusia dalam pernikahan. Allah telah mencitrakan kebenaran hubungan antarmanusia melalui perspektif pernikahan.

Lalu, apa hubungannya pernikahan dengan pemerintah dan masyarakat? Pespektif pernikahan juga dapat ditarik ke dalam hubungan masyarakat dengan pemerintah. Pemerintah dimandatkan untuk menjadi “suami” bagi masyarakat. Masyarakat ditugaskan untuk menjadi “istri” bagi pemerintah. Kedua hal ini sama halnya seperti pernikahan selayaknya suami dan istri. Keduanya berada di dalam suatu persatuan suci yang didasari oleh kasih dan pengurbanan. Oleh karena itu, Allah menghendaki adanya hubungan pemerintah dan masyarakat yang damai dalam persatuan suci tersebut.

Pemerintah hendaknya mengasihi masyarakatnya, bukan untuk sekadar mendapat dukungan politik, tetapi sebagai panggilan Allah dalam menjalankan tugasnya. Lebih dari sekadar mengasihi, pemerintah juga harus memiliki sikap pengurbanan untuk masyarakatnya karena kasihnya akan masyarakat. Pemerintah yang memimpin tidak terlepas dari kehendak Allah untuk melaksanakan tugasnya dalam menegakkan keadilan (1 Tim. 2:2). Masyarakat hendaknya tunduk dan menghormati pemerintah. Sama halnya sebagai seorang “istri”, masyarakat perlu menjadi penolong bagi pemerintah. Dosa yang merusak hubungan antarmanusia membuat pemerintah menggunakan kekuasaannya untuk memimpin secara sembarangan. Sebaliknya, masyarakat merespon dengan terus membangkang terhadap pemerintah dalam menegakkan keadilan. Hal ini tidak dikehendaki oleh Allah.

Sebagaimana kita ketahui, dosa telah mengotori relasi antara masyarakat dengan pemerintah yang menyisakan kekerasan, kesedihan, amarah, dan dendam. Dosa telah menciderai hubungan “pernikahan” antara pemerintah dan masyarakat. Terdapat perpecahan atau keterpisahan antara pemerintah dan masyarakat. Dosa menyebabkan pemerintah untuk menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingannya sendiri dengan mengorbankan masyarakat. Dalam merespon hal tersebut, masyarakat bereaksi dengan keras terhadap pemerintah. Permasalahan ini merupakan hal yang sangat menyedihkan, membuktikan seberapa jauh manusia jatuh di dalam keberdosaannya dan jauh akan “pernikahan” yang Allah kehendaki.

Dosa juga menjauhkan harapan manusia akan kebenaran hubungan pemerintah-masyarakat yang Allah ciptakan dari mulanya. Pada saat ini, hubungan antarmasyarakat dilihat dengan perspektif relasi kuasa. Relasi kuasa menekankan kekuasaan (power) sebagai “mata uang” (currency) di dalam hubungan masyarakat dengan pemerintah. Relasi kuasa memberikan pesan terhadap “suami” dan “istri” akan siapa yang mendominasi dan didominasi. Menurut teori relasi kuasa, terdapat ketimpangan kekuasaan yang dimiliki pemerintah dengan masyarakat yang memunculkan adanya penyelewengan kekuasaan dan juga risaunya masyarakat mengenai adanya “dominasi” oleh pemerintah. Selain itu, perspektif relasi kuasa seakan-akan membuat pemerintah dapat berdiri sendiri tanpa masyarakat dan juga sebaliknya, semakin menguatkan keterpisahan antara pemerintah-masyarakat. Perspektif relasi kuasa menimbulkan perseteruan di dalam hubungan pemerintah-masyarakat dan menghancurkan harapan akan hubungan dalam kasih dan kerelaan terhadap peran masing-masing anggota keluarga.

Hendaknya pemerintah dan masyarakat kembali ke dalam hubungan yang telah Allah ciptakan. Pemerintah sekiranya tidak menggunakan kekuasaannya untuk melukai masyarakat. Seperti suami yang melakukan kekerasan terhadap istrinya, pemerintah akan menanggung dosa yang besar dalam berhubungan dengan masyarakat. Pemerintah harus ingat bahwa kekuasaan yang dimilikinya merupakan tugas dari Allah untuk diusahakan bagi kesejahteraan masyarakatnya (sama seperti Adam ditugaskan untuk menguasai bumi). Masyarakat hendaknya terus berdoa dan membantu pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Layaknya istri yang baik, dukungan dan teguran dalam kasih dibutuhkan bagi seorang suami. Persatuan pemerintah-masyarakat yang disatukan oleh Allah hendaknya saling mengasihi dan saling berkurban untuk satu dengan yang lain. Kiranya perspektif keterpisahan antara pemerintah-masyarakat yang muncul pada saat ini dapat kembali kepada kebenaran yang dikehendaki Allah.

Soli Deo Gloria — Kemuliaan hanya bagi Allah!

--

--

Jason Matthew Limantoro
Jason Matthew Limantoro

Written by Jason Matthew Limantoro

0 Followers

Read and write about International Relations/politics, religions, and society.

No responses yet